Rabu, 02 Maret 2011

PERAN KPK DAN DAMPAK KORUPSI DI INDONESIA

PERAN KPK DAN DAMPAK KORUPSI DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perang terhadap korupsi merupakan focus yang sangat signifikan dalam suatu Negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsure yang sangat penting dari penegakan hokum dalam suatu Negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanent dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.
KPK sebagai lembaga independent, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. KPK juga sebagai control sososial dimana selama ini badan hukum kita masih mandul. Contohnya seperti terungkapnya kasus Nyonya Artalita, dimana aparat hukum kita yang seharusnya membongkar kasus korupsi justru bisa disuap oleh Nyonya Artalita dan yang akhirnya berhasil dibongkar oleh KPK.
Jika ada beberapa pejabat yang teriak-teriak karena ulah KPK, harus dipertanyakan kembali kepada para pejabat itu, berteriak karena takut ikut terseret ataukah konpensasi atas kesalahan sendiri? Dan perlu kita pertanyakan kembali mengapa tidak berani teriak ketika kantong terisi uang haram?. KPK juga sebagai barometer Negara terhadap pandangan Negara lain. Mungkin korupsi di Indonesia sebagai fenomena gunung es dan mungkin hanya 0,5 persen saja yang terbongkar. Tapi justru membanggakan karena taring-taring keadilan mulai tumbuh. Kita melihatnya takut karena kita selama ini terbiasa dibius oleh rezim sebelumnya dan menganggap aneh apabila keadaan itu memerlukan konsekuensi yang berat. Berbagai upaya dilakukan untuk mengusik eksistensi KPK. Ada yang langsung meminta pembubaran ataupun mengamputasi peran KPK secara terselubung.
KPK memang lahir atas keinginan politik parlemen pada saat awal lahirnya KPK, dimana sebagian anggota parlemen “bersih” berharap pemberantasan korupsi lebih intensif, oleh karenanya bukan tidak mungkin KPK secara politik dibubarkan atau kewenangan diamputasi melalui tangan sebagian anggota parlemen yang “kotor”. Di negeri yang korup, pasti banyak pihak yang begitu kaget dan berusaha sekuat daya melawan KPK. Adanya upaya penyempitan peran KPK diindikasikan dengan tidak adanya parpol yang secara institusional mendukung upaya KPK untuk memberantas korupsi. Itu terjadi karena parpol gamang dan takut. Kegamangan dan ketakutan ini muncul karena parpol episentrum korupsi di Indonesia.
Lahirnya KPK didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hokum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tidak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial ekonomi dan politik yang memprihatinkan. Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang timbul, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi.
B. POKOK PERMASALAHAN
1. Bagaimana peran KPK untuk memberantas korupsi yang ada kalangan
2. Bagaimanakah alasan dan juga pengaruh tindak pidana korupsi para pejabat tinggi Negara dan elit politik terhadap masyarakat kecil di Indonesia?







BAB II
PERUMUSAN MASALAH
1. PERAN KPK DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial-ekonomi dan politik yang memprihatinkan.
Korupsi berawal dari bahasa latin ”corruption” atau “corruptus”. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.
Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang tinggi, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi. Secara langsung ataupun tidak, keadaan di atas disebabkan oleh korupsi yang sudah telanjur mewabah. Korupsi telah membuat lumpuh sebagian besar daya dan kekuatan yang dimiliki bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.
Selama ini, program pemberantasan korupsi melalui pendekatan konvensional telah divonis gagal dalam mengurangi tingginya korupsi yang terjadi. Kegagalan demi kegagalan dalam memberantas korupsi menumbuhkan sebuah keyakinan bahwa, dalam sebuah sistem tempat korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum yang biasa hanya akan menutupi pejabat negara yang korup.
Institusi penegak hukum konvensional yang bertindak menegakkan hukum semakin tidak berdaya dalam mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kian kompleks. Bahkan institusi-institusi tersebut telah menjadi bagian dari mata rantai korupsi yang merajalela. Karena itu, kehadiran KPK seharusnya merupakan sebuah jawaban bagi deadlock-nya upaya melawan korupsi.
Akan tetapi, berdasarkan hasil evaluasi ICW terhadap kinerja institusi KPK selama kurun waktu 2003-2007 dalam memberantas korupsi, terdapat berbagai kelemahan yang ditemukan. Salah satu yang mendasar adalah tidak mencukupinya basis analisis untuk melihat akar dan problematika korupsi itu sendiri. Sehingga desain kebijakan dan program pemberantasan korupsi yang dikembangkan oleh KPK dirasa kurang efektif, efisien, relevan, dan berkelanjutan.
Peran KPK tidak hanya menindak koruptor di dalam negeri, tapi juga membantu negara internasional memerangi korupsi di antaranya membantu negara lain mengungkap skandal korupsi di negara tersebut. Peran KPK dalam pemberantasan penyuapan pejabat asing atau orang asing dalam bentuk mengungkap kasus yang ada di negaranya.
Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi ketika state capture type of corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara korupsi birokrasi juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini menyebabkan kita disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan kata lain, tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah sedemikian pelik.
Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih berkutat pada penanganan korupsi yang bertipologi petty administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat dalam dua pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa Indonesia dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak langsung pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan terhadap korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.
State capture bisa dilihat pada aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat politik, pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang menciptakan sebuah kondisi negara yang terus-menerus tersandera oleh ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.
Di samping karena kerugian negara dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan rupiah, state capture telah menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi sumber daya ekonomi publik. Melalui praktek komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan contact person di level tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik yang dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi state capture, kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.
Namun, sayangnya, hingga saat ini, pun setelah KPK lahir, aktor-aktor state capture masih tetap tidak tersentuh. KPK masih sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, pejabat eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap korupsi. Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian besar dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk dihantam.
Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena itu, seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada pertimbangan strategisnya. Terutama pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki hambatan politik untuk menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan menimbulkan naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.
Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.
Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan KPK, tapi hal itu tidak mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu, untuk mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian, KPK seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang sedemikian banyak.
Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya masa tugas pemimpin KPK periode 2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak hukum yang diproses, kecuali Suparman selaku penyidik KPK sendiri. Padahal mustahil mendorong program pemberantasan korupsi di tubuh kejaksaan dan kepolisian seandainya upaya-upaya pembersihan tidak segera dilakukan. Demikian juga halnya lingkup pengadilan, yang seharusnya menjadi prioritas mengingat semua proses hukum akan bermuara di tangan para hakim.
Karena itu, ke depan sudah seharusnya pemimpin KPK terpilih harus benar-benar memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus becermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekadar menjalankan tugas dan kewajiban memberantas korupsi sebagaimana mandat undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.
Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun. Seperti yang telah kita lihat pada akhir-akhir ini. Dalam kasus penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK dengan mencegat mobilnya di pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK terhadap tersangka kasus korupsi Al Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung kewenagan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi seseorang ini, menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi karena takut di tangkap oleh KPK yang datang seperti angin tanpa bisa diduga.
2. BEBERAPA ALASAN DAN JUGA PENGARUH TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA.
Baru-baru ini media massa mengekspose kembali berita korupsi yang tentang tertangkapnya seorang Markus ( Makelar Kasus ) di Departemen Perpajakan, Yakni, seorang PNS dengan hanya Gol. III/A, bisa menggelapkan dana Negara dengan jumlah Milyaran. Kasus terakhir ini adalah sebuah noktah dari rentetan kejadian yang beberapa kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dapat diungkap oleh lembaga penegak hukum. Dari beberapa kasus tersebut ada hal yang dapat kita cermati terutama kasus yang terkait dengan beberapa anggota wakil rakyat. Seperti kita ketahui bahwa para anggota wakil rakyat tersebut sering dikritisi oleh elemen masyarakat karena fasilitas negara yang disediakan untuk mereka baik berupa gaji, tunjangan dan segala kenikmatan lainnya sudah tergolong bagus dan mengundang perasaan iri dari masyarakat pada umumnya. Dari kasus terakhir ini mungkin dapat mematahkan persepsi masyarakat pada umumnya bahwa penyebab utama perilaku korupsi adalah karena penghasilan yang rendah dan tidak memadai. Namun ternyata dengan penghasilan dan fasilitas yang baguspun masih mendorong orang untuk melakukan KKN.
Pada dasarnya motif /alasan yang mendorong seseorang melakukan tindakan korupsi ada dua penyebab yaitu dorongan kebutuhan (need driven) dan dorongan kerakusan (greed driven). Memang sama2 korupsi namun ternyata latar belakang orang melakukan perilaku tercela itu memang berlainan. Sebenarnya perilaku korupsi ini telah mengakar di elemen masyarakat luas, tidak hanya terjadi di institusi baik pemerintah ataupun swasta baik dilakukan oleh aparatur pemerintah ataupun pegawai swasta.
Praktek korupsi berkembang pada situasi dimana job security tinggi dengan tingkat profesionalitas yang rendah sehingga para pegawai tersebut sering menyalah gunakan kewenangannya untuk memenuhi keinginannya daripada pelaksanaan tugas yang seharusnya dia laksanakan. Namun kalau ditelaah sebenarnya penyebab timbulnya perilaku korup disebabkan adanya beberapa faktor, yaitu :
1. Perilaku yang bersumber budaya masyarakat.
2. Jenjang diskresi yang dimiliki.
3. Tiadanya transparansi/keterbukaan.
4. Ketiadaan akuntabilitas.
5. Ketiadaan lembaga pengawas.
Sesungguhnya korupsi memiliki beberapa dampak yang sangat membahayakan kondisi perekonomian sebuah bangsa. Dampak dari tindak pidana korupsi antara lain adalah sebagai berikut :
1. Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Chetwynd orupsi akan menghambat pertumbuhan investasi. Baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria yang mencapai angka 25 persen.
Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa. Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen GDP dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya setiap tahun juga akibat korupsi.
Menurut Mauro Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, GDP per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empirik terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004.
Menurut Gupta fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen. Ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
2. Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.
Pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.
3. Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.
4. Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Baik individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama.
Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul khauf (pakaian ketakutan).


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sudah sangat jelas diketahui bahwa dimanapun berada istilah korupsi sudah sangat dikenal di Negara – negara manapun, dan kita tahu bahwa dampak tindakan korupsi sangat menyengsarakan, khususnya bagi kita sendiri, Bangsa Indonesia. Sebagai putra – putri Bangsa Indonesia apakah kita tidak sedih, melihat saudara kita yang taraf ekonomi kebawah ( miskin) yang harus tinggal di lingkungan yang tidak selayaknya, dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sulit, begitu sangat terlihat dampak korupsi dari kesenjangan Ekonomi. Jelaslah, korupsi memeberi dampak yang buruk bagi kita semua















DAFTAR PUSTAKA
Agust hutabarat, Peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. 6 Januari 2009 •
Andi Hamzah, Pemberantasan. Korupsi 2005 buku KPK ‘Mengenali dan Memberantas Korupsi’
http://pengelolaan keuangan.wordpress.com /2009/03/07
Seputar Indonesia, 14 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar